BUKU bukan semata sumber ilmu pengetahuan, melainkan juga sumur peradaban. Oleh karena itu, buku--terutama yang diberikan kepada anak didik--hendaklah memenuhi kualitas tersebut.
Berdasarkan sudut pandang itu, sebaik-baiknya perkara adalah janganlah negara mengeluarkan anggaran untuk memberi anak didik buku yang isinya hanya memuja seorang tokoh, padahal 'sejarah' sang tokoh belum selesai.
Buku mengenai tokoh dengan sejarah yang belum selesai itulah yang diberikan kepada murid SMP di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung, bukan satu atau dua judul, melainkan 10 judul buku, berisi profil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dibeli memakai dana alokasi khusus dari pemerintah pusat.
Semua buku itu diterbitkan PT Mediatama Surakarta, yang memenangi lelang dana alokasi khusus pada 87 SMP di Tegal. Buku itu antara lain berjudul Lebih Dekat dengan SBY: Jalan Panjang Menuju Istana; Lebih Dekat dengan SBY: Merangkai Kata Menguntai Nada; dan Lebih Dekat dengan SBY: Memberdayakan Ekonomi Rakyat Kecil.
Ada tiga alasan mengapa masuknya buku-buku itu ke sekolah dikecam. Pertama, isinya tidak sesuai dengan kurikulum yang diujikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis dan Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus menyebutkan peredaran buku yang dibiayai dana alokasi khusus harus sesuai dengan kurikulum yang diujikan secara nasional.
Buku profil SBY itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kurikulum yang diujikan secara nasional. Karena itu, membiayai buku-buku itu dengan uang negara melanggar peraturan. Itulah sebabnya Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal mendesak buku-buku itu segera ditarik.
Alasan kedua motif politik di belakang buku-buku itu. Buku-buku itu dibagikan kepada murid SMP, yang pada Pemilu 2014 adalah pemilih pertama. Melalui buku-buku itu, partai yang berkuasa telah mencuri start kampanye.
Alasan ketiga, buku-buku itu dinilai meracuni anak-anak karena, sedikit atau banyak, isinya mengandung kultus individu. Hal itu tidak sehat bagi peradaban demokrasi.
Terlebih, akhir kekuasaan presiden di Republik ini lebih banyak tragic ending daripada happy ending. Sekarang dipuji dan dipuja, esok dicaci dan dimaki. Bahkan, dihujat.
Ada grand design atau tidak, sedang terjadi upaya mengultuskan SBY. Contohnya, ada pertanyaan mengenai lagu karya SBY yang disusupkan sebagai soal ujian masuk pegawai negeri. Contoh lain, dalam sejumlah acara resmi, lagu-lagu karya SBY juga sering diperdengarkan. Kini, kultus individu itu masuk ke buku yang harus dibaca anak didik.
Buku-buku yang isinya kultus individu biarlah dijual bebas di toko buku dan menjadi pilihan bebas orang tua untuk anak mereka. Jangan sekali-kali disediakan pemerintah melalui sekolah, apalagi menggunakan anggaran negara.
Lagi pula, dunia pendidikan mestinya disterilkan dari upaya jilat-menjilat kepada presiden yang sedang berkuasa. Kita heran, Menteri Pendidikan kok berlakon seperti kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
Berdasarkan sudut pandang itu, sebaik-baiknya perkara adalah janganlah negara mengeluarkan anggaran untuk memberi anak didik buku yang isinya hanya memuja seorang tokoh, padahal 'sejarah' sang tokoh belum selesai.
Buku mengenai tokoh dengan sejarah yang belum selesai itulah yang diberikan kepada murid SMP di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung, bukan satu atau dua judul, melainkan 10 judul buku, berisi profil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dibeli memakai dana alokasi khusus dari pemerintah pusat.
Semua buku itu diterbitkan PT Mediatama Surakarta, yang memenangi lelang dana alokasi khusus pada 87 SMP di Tegal. Buku itu antara lain berjudul Lebih Dekat dengan SBY: Jalan Panjang Menuju Istana; Lebih Dekat dengan SBY: Merangkai Kata Menguntai Nada; dan Lebih Dekat dengan SBY: Memberdayakan Ekonomi Rakyat Kecil.
Ada tiga alasan mengapa masuknya buku-buku itu ke sekolah dikecam. Pertama, isinya tidak sesuai dengan kurikulum yang diujikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis dan Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus menyebutkan peredaran buku yang dibiayai dana alokasi khusus harus sesuai dengan kurikulum yang diujikan secara nasional.
Buku profil SBY itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kurikulum yang diujikan secara nasional. Karena itu, membiayai buku-buku itu dengan uang negara melanggar peraturan. Itulah sebabnya Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal mendesak buku-buku itu segera ditarik.
Alasan kedua motif politik di belakang buku-buku itu. Buku-buku itu dibagikan kepada murid SMP, yang pada Pemilu 2014 adalah pemilih pertama. Melalui buku-buku itu, partai yang berkuasa telah mencuri start kampanye.
Alasan ketiga, buku-buku itu dinilai meracuni anak-anak karena, sedikit atau banyak, isinya mengandung kultus individu. Hal itu tidak sehat bagi peradaban demokrasi.
Terlebih, akhir kekuasaan presiden di Republik ini lebih banyak tragic ending daripada happy ending. Sekarang dipuji dan dipuja, esok dicaci dan dimaki. Bahkan, dihujat.
Ada grand design atau tidak, sedang terjadi upaya mengultuskan SBY. Contohnya, ada pertanyaan mengenai lagu karya SBY yang disusupkan sebagai soal ujian masuk pegawai negeri. Contoh lain, dalam sejumlah acara resmi, lagu-lagu karya SBY juga sering diperdengarkan. Kini, kultus individu itu masuk ke buku yang harus dibaca anak didik.
Buku-buku yang isinya kultus individu biarlah dijual bebas di toko buku dan menjadi pilihan bebas orang tua untuk anak mereka. Jangan sekali-kali disediakan pemerintah melalui sekolah, apalagi menggunakan anggaran negara.
Lagi pula, dunia pendidikan mestinya disterilkan dari upaya jilat-menjilat kepada presiden yang sedang berkuasa. Kita heran, Menteri Pendidikan kok berlakon seperti kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar