Senin, 08 Agustus 2011

Si Penabuh Gendang Muncul Karena SBY Tak Berani Menegur

Marzuki Alie, Dipo Alam dan Ruhut Sitompul disebut sebagai 'Penabuh Gendang' di sekitar SBY. Namun, seringnya mereka melontarkan kontroversi dinilai lebih diakibatkan sikap SBY yang tak berani menegur.

"Kalau menurut saya bukan karena penabuh gendang, bukan dirancang untuk mengalihkan isu dengan pernyataan kontroversial, tapi memang mereka bawaannya seperti itu," kata pengamat politik UI Prof Maswadi Rauf dalam perbincangan dengan detikcom, Minggu (7/8/2011).

Maswadi terutama menyoroti Marzuki dan Ruhut. Keduanya dikenal baik oleh masyarakat kerap memberikan pernyataan kontroversial, kontradiktif dan kontraproduktif dengan apa yang menjadi sikap SBY.

"Setiap kader kalau bicara kan harus tunduk dengan kebijakan partai, itu tidak terjadi di Demokrat. Marzuki merasa baik terus, Ruhut juga nggak pernah merasa salah. Tapi mereka nggak ditegur juga," jelas guru besar ilmu politik ini.

Ruhut yang melempar isu Ibu Ani Yudhoyono jadi capres, atau Marzuki yang mencetuskan KPK dibubarkan, hal itu adalah contoh pernyataan kontroversial yang justru merusak SBY. Dipo juga dinilai cukup kontroversial, namun tidak sesering Marzuki dan Ruhut.

Maswadi menegaskan, kerap terulangnya celotehan penabuh gendang ini karena SBY tidak pernah menegur mereka. Teguran ini harus diberi tahu kepada publik dan SBY tidak boleh diam-diam saja atas nama mekanisme internal partai.

"Dari awal orang-orang ini harus ditegur dan dicegah melakukan hal yang sama. Dan publik harus diberi tahu kalau SBY telah menegur mereka," jelas Maswadi.

Maswadi menilai SBY tidak berani menegur bawahan, dan itu akan terus menjadi batu sandungan jika dibiarkan. Budaya ewuh pakewuh terlalu kuat.

"Menegur bupati tidur di Lemhanas bisa, kok menegur bawahan yang bisa merusak partai nggak mau. Agak aneh juga tuh kalau begitu," tukas Maswadi.

Sebelumnya dalam sebuah diskusi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo menyebutkan Marzuki, Dipo dan Ruhut adalah 'Penabuh Gendang'. Mereka membuat pernyataan kontroversial untuk mengalihkan isu.

GBS, Penyakit Berbiaya Rp24 Juta Sehari


Hingga kini belum diketahui apa penyebab penyakit Guillain–BarrĂ© Syndrome (GBS). Namun beberapa penderitanya kini telah dinyatakan sembuh.
Sejumlah testimoni pun diterima Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka, dua penderita GBS, dari sejumlah penderita GBS dewasa yang telah sembuh usai dirawat di RS Cipto Mangunkusumo.

Mayoritas pasien GBS di RSCM memang orang dewasa berusia 40 tahun ke atas. Mereka dinyatakan sembuh dari penyakit yang dapat mengakibatkan kelumpuhan bahkan gagal nafas dalam jangka waktu cukup lama bagi penderitanya ini. Salah satu pasien yang telah sembuh adalah remaja bernama  Cadas Propopuli Azzam Baribin.

"Awalnya anak saya mengalami kesemutan di telapak kaki yang menyebabkan sakit luar biasa hingga ke paha, lalu saya bawa ke dokter, akhirnya dirujuk ke RS Pondok Indah," ujar orang tua Cadas, Nia Damayanti, saat ditemuiVIVAnews.com dalam acara deklarasi Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka di Kayumanis, Jakarta Timur, Minggu, 7 Agustus 2011.

Menurut Nia, anak sulungnya itu mulai dirawat di RS Pondok Indah sejak 2 Mei 2010 selama dua minggu. Dalam masa pengobatan tersebut, Nia mengatakan bisa mengeluarkan biaya hingga lebih dari Rp24 juta per hari.

"Penderita GBS itu obatnya bernama Gamunex, berupa cairan yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui infus. Kadar obatnya tergantung berat badan pasien, kebetulan untuk anak saya waktu itu membutuhkan 18 ampul dalam sehari," katanya.

Dijelaskan Nia, satu botol Gamunex berisil lima ampul, harga per botolnya Rp7,5 juta. Dalam sehari, Nia membeli 3 botol Gamunex dan 3 ampul satuan seharga Rp2,5 juta.

"Pokoknya totalnya harus 18 ampul sehari, itu harganya bisa Rp24 juta sehari. Sampai-sampai suster di RSPI itu suka kasihan tiap memberi bon itu kepada saya tiap hari, dan itu saya lakukan terus selama 14 hari demi kesembuhan anak saya," kata dia.

Saat perawatan pada 7 hari pertama, menurut Nia, dokter di RSPI sendiri tidak juga menemukan penyebab penyakit yang diderita anaknya. Hingga akhirnya dia sempat ingin membawa Cadas berobat ke Singapura.

"Tapi setelah keluar hasil diagnosanya, saya malah tidak boleh ke mana-mana. Karena penyakit ini hitungannya jam, lewat sedikit bisa sangat fatal akibatnya."

Nia mengaku, keadaan ini sempat membuat kondisi keluarganya berubah total. Setiap hari Nia terobsesi mencari tahu mengenai penyakit GBS di internet maupun melalui ahli, sehingga keluarganya sempat terabaikan.

"Penyakit ini mengubah kehidupan keluarga, saya jadi tidak pernah mengobrol dengan suami, anak bungsu saya jadi diurus pembantu, karena saya sibuk mencari penyebab anak saya bisa begini," katanya.
Kambuh Lagi
Setelah dua minggu, Cadas masih harus melakukan fisioterapi sampai Juli 2010, dan berjalan dengan bantuan tongkat. Namun, siapa sangka, seminggu kemudian kambuh kembali penyakit GBS tersebut.

"Anak saya kembali diinfus dengan Gamanex. Kemudian saya terbang ke Singapura untuk memastikan kesembuhannya, lalu September 2010 baru anak saya dinyatakan benar-benar sembuh," tuturnya.

Kini, Cadas telah berusia 12 tahun dan bersekolah di SMP Negeri 68 Jakarta. Ahli media telah memperbolehkannya beraktivitas seperti remaja pada umumnya. Setelah Cadas sembuh, Nia baru ingat, sekitar enam bulan sebelum anaknya didiagnosa GBS, dia sempat mengantar Cadas ke dokter THT.

"Waktu itu dia flu, lalu dokternya menemukan katanya ada virus yang bisa menyerang (sampai) ke gagal organ. Tapi belum sampai ke GBS. Enam setelah itu Cadas malah kena GBS, ternyata dari sinusitis kata dokternya bisa kena GBS," katanya.

Nia pun berharap dengan adanya pengalaman yang dialaminya ini, bisa membuat para penderita GBS lainnya memiliki semangat hidup tinggi untuk bisa sembuh lagi.

"Memang tidak bisa dibandingkan dengan keadaan Shafa dan Azka, karena anak saya cuma baru sampai paha dan masih bisa bicara. Tapi saya berharap dua balita ini bisa kembali sembuh seperti anak saya tentunya," katanya. (ren)
• VIVAnews