Adanya instruksi boikot iklan dan sesi wawancara ke beberapa media yang dilontarkan Sekretaris Kabinet Dipo Alam dinilai memalukan dan hanya menunjukkan kekurangdewasaan politik pemerintah. Sikap defensif atas kritik media justru semakin menunjukkan rendahnya tanggung jawab publik serta buruknya kualitas demokrasi dan komunikasi massa pemerintahan.
Pakar komunikasi massa Universitas Indonesia Ade Armando mengatakan itu ketika dihubungi, Selasa (22/2). "Tidak seharusnya pemerintah bersikap begitu. Karena bertanggung jawab kepada publik, mereka seharusnya siap menerima kritik. Media massa dibutuhkan di demokrasi. Tidak pantas ada diskriminasi," ujarnya.
Menurut Ade, pemerintah tidak boleh bersikap diskriminatif dalam menentukan tempat memasang iklan. Sebab, anggaran pemerintah adalah dana rakyat yang harus digunakan untuk kemashlatan publik. Maka itu, aksi boikot ini juga dinilainya sebagai sebuah blunder dari seorang Dipo Alam yang akan semakin memperburuk citra pemerintahan Presiden Yudhoyono.
"Saya rasa ini hanya sikap pribadi Dipo yang ingin menyenangkan atasannya dan terkesan heroik. Tetapi dampaknya saya rasa akan berbalik. Media bukannya ketakutan, tapi justru akan solider dan saling mendukung," ujarnya.
Menurutnya, pemboikotan layanan wawancara oleh beberapa stasiun televisi memang bukan merupakan pelanggaran atas Undang-Undang Pers. UU membebaskan jika seseorang memilih untuk tidak berkomentar. Namun, sikap ini adalah menyalahi etika penyelenggaraan pemerintahan karena menutup hak publik akan informasi.
Sebab, keberadaan media sangat dibutuhkan untuk memainkan perannya di era demokrasi. Pemerintah butuh media karena perlu bicara ke publik. Publik juga sangat butuh media untuk mengetahui apa saja yang dilakukan pemerintahan yang dipilihnya dan apa pendapat pemerintah tentang masalah-masalah yang ada
"Memalukan kalau pemerintah memilih bungkam dan melakukan pesensoran sendiri ke publik. Pemerintah yang no comment adalah pemerintah yang sangat buruk," ujarnya.
Pakar komunikasi massa Universitas Indonesia Ade Armando mengatakan itu ketika dihubungi, Selasa (22/2). "Tidak seharusnya pemerintah bersikap begitu. Karena bertanggung jawab kepada publik, mereka seharusnya siap menerima kritik. Media massa dibutuhkan di demokrasi. Tidak pantas ada diskriminasi," ujarnya.
Menurut Ade, pemerintah tidak boleh bersikap diskriminatif dalam menentukan tempat memasang iklan. Sebab, anggaran pemerintah adalah dana rakyat yang harus digunakan untuk kemashlatan publik. Maka itu, aksi boikot ini juga dinilainya sebagai sebuah blunder dari seorang Dipo Alam yang akan semakin memperburuk citra pemerintahan Presiden Yudhoyono.
"Saya rasa ini hanya sikap pribadi Dipo yang ingin menyenangkan atasannya dan terkesan heroik. Tetapi dampaknya saya rasa akan berbalik. Media bukannya ketakutan, tapi justru akan solider dan saling mendukung," ujarnya.
Menurutnya, pemboikotan layanan wawancara oleh beberapa stasiun televisi memang bukan merupakan pelanggaran atas Undang-Undang Pers. UU membebaskan jika seseorang memilih untuk tidak berkomentar. Namun, sikap ini adalah menyalahi etika penyelenggaraan pemerintahan karena menutup hak publik akan informasi.
Sebab, keberadaan media sangat dibutuhkan untuk memainkan perannya di era demokrasi. Pemerintah butuh media karena perlu bicara ke publik. Publik juga sangat butuh media untuk mengetahui apa saja yang dilakukan pemerintahan yang dipilihnya dan apa pendapat pemerintah tentang masalah-masalah yang ada
"Memalukan kalau pemerintah memilih bungkam dan melakukan pesensoran sendiri ke publik. Pemerintah yang no comment adalah pemerintah yang sangat buruk," ujarnya.