Rabu, 23 Februari 2011

Metro dan Media Indonesia Somasi Dipo Alam

Metro TV dan Harian Umum Media Indonesia melayangkan somasi kepada Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, Dipo Alam melalui kuasa hukumnya, OC Kaligis. Somasi ini merupakan buntut dari pernyataan Dipo soal sejumlah media massa yang doyan menjelek-jelekkan pemerintah.

Dalam pernyataannya, Senin 21 Februari lalu di Istana Bogor, Dipo mengatakan, "Pokoknya, saya katakan, kalau mereka (media) tiap menit menjelekkan terus, tidak usah pasang (iklan). Saya akan hadapi itu. Toh, yang punya uang itu pemerintah. Enggak usah pasang iklan disitu. Orang yang di interview dalam prime-time tidak usah datang".

Pernyataan itu, kata Kaligis,  bukan hanya ditujukan kepada masyarakat pers tapi juga kepada masyarakat umum. Itu sebabnya Kaligis mendesak Dipo, "Mengakui kesalahan itu karena dia telah membungkam pers dan menutup informasi  bagi publik," ujar OC dalam keterangan pers di kantornya, Jalan Majapahit, Komplek Majapahit Permai, Jakarta, Rabu 23 Februari 2011.

Hadir dalam keterangan pers, Pemimpin Redaksi Metro TV, Elman Saragih dan Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Saur Hutabarat.

OC menambahkan bahwa Dipo telah melanggar Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-undang nomor 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Oleh karena itu, Dipo diminta untuk meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat.

"Apabila dalam waktu 3 x 24 jam atau selambat-lambatnya pada pukul 12.00 tanggal 26 Februari 2011 saudara tidak mengindahkan somasi, maka kami segera akan melakukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku," tegas OC.

Sementara itu, Dipo menyatakan siap disomasi media yang dia sebut dalam aksi boikot media tersebut. "Jika dituntut saya siap," kata dia usai rapat dengan Komisi II DPR, siang tadi.

Angket Mafia Pajak Ditolak, Demokrat Segera Lapor SBY

 Partai Demokrat segera memberi laporan hasil rapat paripurna DPR pengambilan keputusan hak angket pajak kepada Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina partai. Demokrat bernafas lega dengan hasil paripurna yang menolak hak penyelidikan tersebut.

"Pokoknya nanti semua akan kita laporkan ke Pak SBY. Tidak cuma sikap koalisi, tapi juga hasil angket mafia pajak akan kita laporkan," ujar Sekretaris Fraksi Partai Demokrat, Saan Mustopa, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Selasa(22/2/2011) malam.

Disinggung apakah akan ada sanksi terhadap dua partai koalisi Golkar dan PKS yang berbeda pendapat, Saan menyerahkan semuanya kepada SBY. "Masalah sanksi itu nanti. Urusan pemimpin kita Pak SBY," imbuhnya.

Sementara itu Ketua FPD DPR, Jafar Hafsah, mengapresiasi sikap partai koalisi yang konsisten menolak hak angket mafia pajak. Hasil paripurna merupakan keinginan dari partai pendukung pemerintah.

"Kita berterima kasih sekali kepada partai koalisi yang mendukung sikap kami. Ini adalah kemenangan pertama, apa yang menjadi keinginan koalisi," kata Jafar.

Menurut Jafar, hasil ini akan segera di laporkan kepada SBY. Ditanya apakah akan ada evaluasi di Setgab partai koalisi Jafar menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Setgab SBY. "Seperti apa evaluasinya, ketua (SBY) yang menentukan," tandasnya.

Ketua MK: Mega Boleh Tak Penuhi Panggilan KPK

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menolak panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi saksi yang meringankan bagi dua politisi PDIP. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan tidak ada aturan tentang kesediaan seseorang menjadi saksi yang meringankan.

"Tapi sikap KPK bisa dijadikan yurisprudiensi ke depan, bisa jadi pedoman manakala saksi meringankan tidak bersedia hadir," kata Mahfud, di Jakarta, Selasa, 22 Februari 2011.

Mahfud menambahkan KPK juga harus memberlakukan hal yang sama pada yang lain di kemudian hari. "Karena memang tidak ada keharusan atau larangan untuk itu dan KPK lalu membuat tafsir," ujarnya.

Menurut Mahfud, apabila seseorang menolak dipanggil sebagai saksi yang meringankan, hal tersebut tidak menjadi persoalan. "Kalau saksi meringankan tidak mau ya tidak apa apa. "Itu boleh."

Mega sedianya diperiksa sebagai saksi meringankan yang diajukan Max Moein, tersangka kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 yang dimenangkan Miranda Swaray Goeltom. Politisi PDI Perjuangan ini menyatakan Megawati tahu aliran uang yang diberikan kepada kader-kader PDIP yang dituduh terlibat. "Uang itu kami terima dari bendahara fraksi," ujar Max usai menjalani pemeriksaan di KPK, 10 Februari 2011 lalu.

Max mengaku tidak mengetahui asal-usul dan kegunaan cek-pelawat senilai Rp500 juta yang diterimanya itu. Dia menegaskan hanya menjalankan instruksi partai sebagai kader dan partailah yang lebih tahu ke mana dan dari mana asal-muasal cek-pelawat tersebut. 

PDIP Yogya Siaga Satu


PDI Perjuangan Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan Siaga I terkait pemanggilan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Megawati dipanggil sebagai saksi meringankan kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI).

"Kami sudah tetapkan siaga I sejak Jumat hingga saat ini sampai batas waktu yang belum ditentukan," kata Bambang Praswanto, sekretaris PDIP DIY kepada VIVAnews.com di kantor DPD PDIP DIY, Jalan Tentara Rakyat Mataram 47, Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2011.

Dia menilai pemanggilan Megawati sengaja dipolitisasi dan merupakan pelecehan terhadap simbol partai. Siaga I PDI Perjuangan itu, kata dia, merupakan instruksi dari Dewan Pimpinan Partai untuk seluruh wilayah. Bahkan instruksinya tidak boleh keluar kota.

"Selain itu kami juga akan mengerahkan sepuluh ribu orang untuk melakukan aksi ke Jakarta," ujar Bambang. "Kami sudah bikin skenario, sewaktu-waktu kami siap untuk berĂ ngkat".

Ia menambahkan, pemanggilan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yang juga mantan Presiden RI oleh KPK itu tidak pantas. Hal itu mengindikasikan ada ancaman terhadap PDI Perjuangan.

Pemanggilan Mega dilakukan atas permintaan tersangka Max Moein, yang memintanya menjadi saksi yang meringankan. Juru Bicara KPK, Johan Budi SP menjelaskan, berdasarkan pasal 65 KUHAP, para tersangka memiliki hak untuk mengajukan dan meminta saksi yang dianggapnya meringankan.

Saat hari pemanggilan Megawati, PDIP mengirim tim hukum PDIP yang dipimpin Trimedya Pandjaitan dan Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo.

Lily Wahid Siap Diganti

 Lily Wahid, anggota fraksi PKB mengulang sikap kontroversial dalam voting hak angket perpajakan. Sama ketika hak angket kasus century, Lily mengambil sikap yang bertentangan dengan fraksinya.Meskipun arahan FPKB menolak hak angket, dalam voting, Lily bersama rekannya Effendi Choirie berada dibarisan pendukung hak angket tersebut. Atas sikapnya yang tidak sejalan dengan partai, Lily mengaku siap diganti. "Tidak masalah di-recall, saya tidak ada beban. Saya punya hak hukum. Karena kita kemarin dipilih berdasarkan suara terbanyak, jadi kewenangan partai tidak seperti dulu lagi," tegasnya ditemui seusai paripurna, Rabu (23/2) dini hari. Menurut Lily, masalah perpajakan yang begitu kompleks, tidak mungkin dibongkar hanya dengan panitia kerja (panja). "Keyakinan saya untuk itu sangat penuh. Karena kalau kita cuma pakai panja tidak mungkin membongkarnya tuntas," kata Lily.Sikap membangkangnya dua anggota fraksi PKB ini, mendapat apresiasi dari kubu pendukung hak angket. Salah satunya adalah Sekjen PKS Anis Matta."Pada dasarnya orang itu bertanggungjawab kepada konstituennya, ini pertanda baik. Kita tahu teman-teman itu ada resiko di internal. Kita salut karena mereka menunjukkan pertanggungjawaban ke publik," papar Anis.

TV One: Kami Haram Menyebarkan Ajaran Kebencian

Senada dengan Metro TV, TV One juga menyangkal keras pernyataan Seskab Dipo Alam. TV One menegaskan tidak pernah menyebarkan ajaran kebencian kepada pemerintah dalam pemberitaannya.

"Saya sangkal keras, TV One tidak pernah mengajarkan ajaran kebencian. TV One bekerja pada sistem dan prosedur yang tertata dengan baik. Kami haram menyebarkan kebencian," kata General Manajer News dan Sport, Totok Sudaryanto, saat dihubungi detikcom, Selasa (22/2/2011).

TV One mempersilakan Seskab Dipo Alam menggunakan jalur sesuai UU Pers jika dirasa tidak benar.

"Sebagai teman yang baik, mencubit juga mengelus. Kalau media itu salah, jalurnya jelas, ada Dewan Pers, Komisi Penyiaran atau tidak suka tinggal ke pengadilan," katanya.

Menurut Totok, statemen Dipo kotraproduktif dengan ucapan SBY. "Presiden saja dalam hari pers memuji-muji pers," ujarnya.

Totok menyatakan, TV One dalam membuat pemberitaan terikat pada hati nurani dan kode etik jurnalistik dan tidak ada yang menyebarkan kebencian.

"Saya pikir berlebihan kalau disebut menyebarkan kebencian. Kita hanya ketawa saja menanggapi itu, kita tidak risau," ungkapnya.

Sebelumnya Dipo Alam menyebut tiga media massa yakni Metro TV, TV One dan Media Indonesia, menyebarkan berita kebencian pada pemerintahan. Mengkritik pemerintah boleh saja, namun jangan sampai menyebarkan kebencian.

"Metro TV sama TV One. Saya lihat itu waktu saya di Kupang. (Media) Cetaknya yang sesuai dengan yang punyanya TV juga, ha ha ha ha," ujar Mensesneg Dipo Alam di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (22/2), ketika ditanya soal media apa saja yang terus menjelekkan pemerintah.

Bila Tak Ingin Disebut Antidemokrasi, SBY Harus Tegur Dipo Alam

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menegur Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, terkait pernyataanya soal pemboikotan terhadap media yang menjelekkan pemerintah. Jika tidak segera dilakukan, hal itu akan menimbulkan kesan kalau Presiden memang anti terhadap kritik.

"SBY harus tegur Dipo. Kalau tidak ada teguran itu lah keinginan SBY. Lama-lama ada kesan bahwa SBY ini memang makin anti terhadap kritik, cenderung antidemokrasi," ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, saat berbincang dengan detikcom, Selasa (22/2/2011).

Bentuk teguran terhadap Dipo kata Ray, harus dilakukan oleh SBY secara terbuka. SBY harus memberi penjelasan kepada publik, apa yang dilakukan Dipo adalah pernyataan keliru.

"SBY harus jelaskan sudah beri teguran, meminta agar berbicara lebih sopan," katanya.

Ray pun menyarankan agar media membuat pernyataan secara terbuka, meminta agar Dipo mencabut pernyataannya. Media juga harus lebih sensitif terhadap penguasa yang bereaksi berlebihan terhadap kritik.

"Mulai dari hal kecil ajakan jangan dibaca, jangan diberi iklan lalu dibawa ke pengadilan kemudian dibredel. Sekecil apapun otoritarianisme harus kita lawan," tegasnya.

Menurut Ray, jika memang keberatan dengan pemberitaan di media masa, sebaiknya Dipo mengikuti mekanisme yang ada, yaitu mengadu ke Dewan Pers. "Keberatan terhadap pemberitaan bisa diadukan ke Dewan Pers. Kenapa tidak seperti itu," sesal Ray.

Bahkan Ray menangkap ada kesan SBY memang anti terhadap kritik. Ray menduga pernyataan Dipo memang sudah diamini oleh SBY.

"Saya tidak yakin, apa yang dilakukan Dipo hanya semata-mata dirinya sendiri tanpa ada semacam sinyal dari Pak SBY," tandasnya.