Rabu, 08 Desember 2010

Lapindo, Kejahatan Kemanusiaan kah?


JAKARTA, KOMPAS.com — Komnas HAM menyatakan, kasus pelanggaran HAM terhadap korban lumpur Lapindo dapat digolongkan kejahatan terhadap kemanusiaan. Demikian yang disampaikan Nur Kholis, Komisioner Komnas HAM Bagian Penyidikan dan Pemantauan dalam audiensi Walhi dengan Komnas HAM di kantor Komnas HAM, Selasa (17/11).
Hal tersebut dikarenakan kasus Lumpur Lapindo telah menyebabkan pemindahan banyak orang secara paksa dari tempat tinggal semula. "Ada dua golongan, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kita enggak bisa yang genosida, jadi kita lebih fokuskan pada kejahatan kemanusiaan karena ada pemindahan secara besar-besaran terhadap sekelompok orang," ujar Nur Kholis.
Dalam audiensi tersebut, Komnas HAM menyatakan telah membentuk tiga tim untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Lumpur Lapindo. Tiga tim tersebut yaitu tim monitoring yang berfungsi untuk mengawasi dan memeriksa adanya kekerasan terhadap korban sebelum dan setelah kejadian, tim mediasi yang menjembatani pihak yang bersengketa misalnya masalah ganti rugi, dan tim ad hoc yang memeriksa saksi dan penyelidiki kasus lebih lanjut.
Tim ad hoc pemeriksa kasus pelanggaran HAM korban Lapindo yang dibentuk Komnas HAM beberapa bulan yang lalu tersebut telah memeriksa sekitar 86 orang saksi pelanggaran HAM korban Lapindo dalam waktu dua bulan. "Untuk tim yang turun ke lapangan memeriksa saksi sudah diperiksa 86 orang," ujar Nur Kholis.
Menanggapi laporan Komnas HAM tersebut, Walhi mengaku puas dengan kinerja tim ad hoc. "Saya kira sebagai sebuah informasi cukup senang. Karena jumlah saksi sejak kami datang Agustus cukup besar meskipun levelnya masih camat," ujar Erwin Usman, juru bicara Walhi.
Dalam pertemuan tersebut, Komnas HAM menjanjikan akan segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini paling lambat Juli 2010. "Ya paling lambat Juli tahun depan," ujar Nur Kholis.
Walhi menyatakan tidak keberatan akan target Komnas HAM tersebut selama setiap bulan ada perkembangan penyelidikan. "Komnas HAM memberi tenggat Juli saya kira sah saja asal tiap dua bulan ada perkembangan. Karena tinggal Komnas HAM yang paling bisa memperjuangkan," ujar Erwin.
Penulis: C12-09 | Editor: Edj

Kronologi Bencana Lumpur Lapindo


01. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru Porong.


02. Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat.


03. 10 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat sejumlah pabrik.


04. 12 Juli 2006 lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar.


05. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit .


06. Memasuki akhir September 2006, Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul penahan lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol.


07. 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14 orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang lumpur.


08. 6 Desember 2006, Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru Porong.


09. Memasuki Januari 2007, Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya.


10. Memasuki April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan antara desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang harus mengungsi ke Balai Desa Ketapang.


11. 10 Januari 2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang-Surabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan air hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong atau ke sanak keluarga mereka yang terdekat.


12. Dengan demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah.


Wakil Kepala Bidang Eksternal Komnas HAM Nur Kholis

Megawati Raih Penghargaan Internasional


Kamboja: Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dianugerahi penghargaan Long Time Achievement dalam bidang politik, Kamis (2/12) malam. Megawati menerima penghargaan itu saat menjadi tamu kehormatan di International Conference of Asian Political Parties (ICAPP) di Phnom Penh, Kamboja.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menerima langsung penghargaan dari Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Selain Mega, pernghargaan itu pun diberikan kepada mantan Presiden Filipina Fidel Ramos.

Megawati dianggap sebagai pemimpin politik yang tangguh dan kuat. Ia dinilai sukses memimpin transaksi demokrasi Indonesia melalui pemilihan Presiden secara langsung, demokratis, dan aman.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto yang turut hadir di acara itu pun mengatakan Megawati juga dipuji dalam kapasitasnya sebagai putri Bung Karno. Pemimpin bangsa-bangsa di Asia dan Afrika mengakui kepeloporan Bung Karno di kancah internasional.

Selain Hasto, Megawati saat di Phnom Penh didampingi antara lain puteranya HM Prananda Prabowo dan anggota Komisi I DPR dari PDIP TB Hasanuddin.

ICAPP diikuti 85 partai politik yang berasal dari lebih 35 negara di Asia. Kehadiran Megawati merupakan momentum penting mengingat salah satu perhatian dari ICAPP berkaitan dengan kerja sama antarparpol dan partisipasi perempuan di partai politik.

Sementara Megawati menegaskan bahwa Indonesia menjadi bukti bahwa demokrasi bisa hadir dan menjadi bagian dari transisi kepemimpinan secara demokratis dan damai. Itu semua, ujarnya, tak terlepas dari semangat Pancasila yang kerap diperingati setiap tanggal 1 Juni.

Megawati juga mengajak ICAPP untuk merumuskan visi Asia untuk masa depan yang lebih baik, aman, dan sejahtera melalui kerja sama antar partai politik, pemerintahan, dan seluruh masyarakat Asia.

Di luar jadwal yang ditetapkan, PM Kamboja Hun Sen mengundang Megawati Soekarnoputri untuk kunjungan kehormatan mengingat kepemimpinan Indonesia dalam penyelesaian secara damai terhadap "perang saudara di Kamboja". Kepemimpinan Megawati dinilai menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar melalui penyelenggaraan pemilu presiden yang sangat demokratis.

Hasto menggambarkan pertemuan PM Hun Sen dan Megawati berlangsung sangat hangat dan akrab.

"Pertemuan antara Megawati dan Hun Sen memperlihatkan adanya ikatan emosional yang kuat, ditandai dengan sejarah kedekatan hubungan antara Pangeran Norodom Sihanouk dengan Bung Karno sehingga pertemuan berjalan sangat akrab," ujar Hasto.

-Metrotvnews.com-

kekaguman ku terhadap IBU MEGAWATI ..


Saya kagum dan bangga dengan ibu Megawati. Beliau adalah sosok pemimpin yang berani mengatakan tidak disaat orang lain berkata ya. Karena itulah beliau dianggap kurang populis dan sering ditafsirkan sebagai orang yang hanya pandai menjelek-jelekkan capres lainnya. Padahal hal itu tidaklah demikian. Ibu Megawati adalah sosok yang unik dan menarik. Tidak banyak wanita Indonesia yang seperti ini. Jadi tidaklah salah bila  Pak SBY dan  Pak JK tidak memandang remeh Srikandi Indonesia ini.

Ibu Megawati memang sosok yang patut diberikan acungan jempol. Lihatlah bahasa tubuh pak SBY dan Pak JK ketika debat capres kemarin. Terlihat sekali mereka menaruh hormat yang luar biasa kepada beliau. Bukan karena Ibu Megawati pernah menjadi atasan mereka, tetapi memang harus diakui ibu Megawati mempunyai Leadership yang jarang dimiliki oleh kaum wanita kebanyakan. Beliaulah srikandi Indonesia yang sesungguhnya. Beliaulah Srikandi yang dibutuhkan bangsa ini untuk memakmurkan Indonesia.

Anda boleh tak bersetuju dengan pendapat saya. Tapi anda harus setuju bahwa ibu Megawati adalah satu-satunya Presiden wanita yang pernah memimpin bangsa ini. Hanya saja, waktu yang diberikan sangatlah singkat sehingga beliau belum merasa tuntas dalam menjalankan amanah rakyat. Setelah mendapatkan amanah dari MPR, dan menggantikan "Gus dur" menjadi presiden barulah terlihat sosok kepemimpinan beliau yang tegas, sampai-sampai pak SBY dan pak JK yang menjadi menteri di dalam kabinet beliau sangat menaruh hormat, dan selalu menjalankan tugas yang diberikan oleh ibu Megawati dengan baik. Sampai-sampai beliau tidak menduga kalau bawahan beliau yang dibanggakan itu akan menggantikan posisinya sebagai presiden dan wakilpresiden.

Melihat perjuangan hidup beliau yang selalu menghadapi tantangan berat dan pernah dizholimi oleh pemerintah orba, membuat rakyat banyak yang tertarik memilih beliau. Itulah yang membuat PDIP menang di tahun 1999. Namun, ibu Megawati harus memakan obat pahit ketika di tahun 2004 beliau dikalahkan oleh anak buahnya sendiri, pak SBY dan Pak JK. Di sanalah beliau banyak menginstropeksi diri, melihat kehidupan rakyat yang sesungguhnya. Jiwanya bergetar, hatinya menangis ketika ditemuinya masih masih banyak rakyat Indonesia yang bodoh dan miskin. Karena itulah di tahun 2009 ini beliau mencalonkan diri kembali menjadi capres. Dengan sebuah harapan ingin memakmurkan rakyat Indonesia ke arah yang lebih baik.

siapa sih MEGAWATI?


Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.

Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.

Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.

Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. (Dari Berbagai Sumber)

JAKARTA - Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan menegaskan pengungkapan kasus Gayus Tambunan tidak bisa dilihat dari sisi gratifikasi saja.

Menurut dia, perusahaan-perusahaan yang melakukan praktik suap terhadap petugas pajak, termasuk Gayus, harus diungkap.

“Kan ada perusahaan nasional dan multinasional segala macam yang kita dengar. Perusahaan multi-nasional itu konon ikut menyuap petugas-petugas pajak, dalam tanda kutip dilindungi tetapi masih terbongkar juga. Nah dampak ke situlah yang akan kita dorong,” ujar Trimedya di Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Rabu (8/12/2010).

Mantan Ketua Komisi III DPR ini juga menegaskan jangan penanganan hanya tertuju pada tiga perusahaan milik Aburizal Bakrie saja, namun ada puluhan perusahaan lain yang diduga ikut menyuap.

“Bukan (perusahaan) Bakrienya saja tapi 60 perusahaan lain. Soalnya awal-awal kasus ini kan ada 60,” sambungnya.

Trimedya juga meminta Satgas Antimafia Hukum jujur dalam mengungkap kasus ini. Hal ini untuk memastikan tidak ada agenda politk lain yang bermain.

Satgas, lanjut dia, harus benar-benar jujur menyampaikan apakah benar mereka bekerja untuk kepentingan pengungkapan kasus atau memang ada agenda-agenda politik lain.

“Sejak dari awal kasus ini, kehadiran Satgas telah merusak sistem hukum,” ucapnya.

Drama Marsinah yang Belum Selesai


Kasus kematian buruh Marsinah masih menjadi tanda tanya besar. Wakil Ketua Tim Penyelidikan Kasus Marsinah II sedang berupaya mencari Jawabnya.
KISAH Marsinah belum lagi selesai. Drama tentang kematiannya masih berakhir dengan open ending, ailas mengambang. Bahkan, Wakil Ketua Tim Penyelidikan Kasus Marsinah II Letkol (Pol.) Sapdoni, pada Seminar Marsinah Mengguat yang diadakan di Lembaga Bantuan Hukurn Surabaya awal Juni silam, mengaku betapa berbedanya hasil penyidikan babak pertama dengan babak kedua. Jika memang ada perbedaan-perbedaan itu, bukan saja jalan menuju ke pengungkapan pembunuhan Marsinah penuh gerunjal, tetapi kasus ini terancam terlupakan kalau kita tak terus-menerus menagih kepada pemerintah.


Tentu kita belum lupa, di suatu hari yang kelam, 9 Mei 1993 jenazah aktivis buruh PT Catur Putra Surya (CPS), pabrik yang terletak di Porong, Sidoarjo, itu ditemukan di sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk–200 kilometer dari tempatnya bekerja. Menurut hasil otopsi Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, Marsinah tampaknya meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan. Ia diduga tewas karena tusukan benda runcing, perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.

Setelah berbulan-bulan tak ada kabar berita–kecuali protes dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menuntut pengungkapan kasus ini–tiba-tiba saja terjadi penggerebekan oleh pihak keamanan berpakaian preman dari pusat (bukan dari Jawa Timur). Mereka menangkap dan menahan para karyawan dan direktur PT CPS, termasuk Mutiari, Kepala Personalia PT CPS yang tengah hamil tiga bulan. Delapan orang “tersangka” itu dianggap “hilang” selama 18 hari tanpa diketahui siapa yang membawa dan dibawa ke mana hingga akhirnya pada hari ke-l9 mereka dinyatakan ditahan pihak kepolisian Jawa Timur.

Selanjutnya seperti yang sudah tertulis di media massa empat tahun silam, sulit untuk mempercayai berita acara pemeriksaan (BAP) resmi yang menuduh Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong, adalah otak pembunuhan. Dan, seperti yang diakui para tersangka itu, mereka diculik dan-kecuali Mutiari–disiksa oleh aparat di markas Dan Intel Kodam V Brawijaya agar mengakui “perbuatan” pembunuhan itu. Cara penangkapan dan penyiksaan itu, menurut sejumlah pakar hukum termasuk pengacara T. Mulya Lubis, menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pada tahun 1994, setelah divonis hukuman penjara, akhirnya Yudi Susanto dkk. dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Namun, kasus ini toh tetap saja gelap. Yang terus-menerus mengingatkan “kegelapan” ini tentu saja masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau yayasan serta seniman yang tak henti-hentinya memperingati kematian Marsinah itu.

* Marsinah dan Kejanggalan Kasusnya

Siapakah sesungguhnya Marsinah, sehingga kasusnya diributkan tak putus-putusnya? Ia adalah gadis sederhana kelahiran Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur. Dibesarkan dan menyelesaikan pendidikannya di kota kelahirannya. Selain hobi membaca, lulusan SMA Muhammadiyah Nganjuk ini dikenal sebagai pekerja keras dan tak mengenal takut. Mungkin karena keberaniannya itulah yang membuat Marsinah tak layu dihalau satpam saat memimpin aksi memperjuangkan hak kaum buruh pada 4 Mei 1993 yang–diduga orang–berbuntut pembunuhan terhadap dirinya.

Aksi dimulai 3 Mei 1993: 18 buruh mencegah teman-temannya bekerja. Kemudian koramil setempat”mengamankan situasi” Esoknya, para buruh mogok total dan mengajukan 12 poin tuntutan, antara lain menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250, tunjangan tetap Rp 550 per hari, dan tuntutan lain: setelah pemogokan itu, perusahaan diminta tidak memutasi, mengintimidasi, dan memecat karyawan Adalah Marsinah, 23 tahun, yang berusaha keras untuk mengegolkan usaha tersebut.

Marsinah akhirnya berhasil bertemu dengan Yudi Astono, direktur pabrik. Pada 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut digiring ke Kodim Sidoarjo; dituduh mengadakan rapat gelap dan menghasut karyawan. Mereka diminta mundur dari PT CPS dan akhirnya para buruh itu diberi pesangon di kantor kodim dengan kehadiran Yudi Astono. Pada hari yang sama, sekitar pukul 20.00, Marsinah menyampaikan surat kepada direktur pabrik yang antara lain mempertanyakan kesepakatan penyelesaian aksi mogok yang berakhir dengan pemaksaan pengunduran diri terhadap 13 rekannya itu. Dan, sejak hari itulah Marsinah lenyap sampai mayatnya ditemukan di Nganjuk.

Apa yang janggal dari semua ini? Menurut Trimoelja D. Soerjadi–yang di masa pengadilan kasus Marsinah bertindak sebagai pengacara Yudi Susanto–jika ingin mengungkap kasus Marsinah, harus ada kesediaan pihak ABRI untuk memeriksa sejumlah aparatnya yang terlibat dalam penangkapan dan penyiksaan para terdakwa sipil. “Jika pihak angkatan darat tidak mau memeriksa aparat, ya, kasus ini tetap tak akan terungkap,” kata Trimoelya kepada D&R.

Menurut Trimoelja, kasus Marsinah menjadi tak tersentuh keadilan karena sejak awal pada kasus tersebut sudah terjadi kejanggalan dengan cara penangkapan delapan tersangka, termasuk Yudi Susanto, yang tidak sah. “Mengapa sampai berbulan-bulan kematian Marsinah tidak bisa diungkap polisi, ini yang harus dijawab,” tutur Trimoelja. Selain itu, kejanggalan lain, menurut Trimoelja, adalah mengapa pihak militer menutupi kejadian yang sebenarnya dengan cara menangkapi orang yang tidak bersalah.

Gelapnya kasus Marsinah ini, menurut Trimoelja, juga disebabkan karena polisi tidak mandiri . “Selama polisi di bawah ABRI saya pesimistis kasus Marsinah bisa terungkap,” kata Trimoelja. Trimoelja yakin ada kerja sama antara polisi dan militer dalam penanganan awal kasus Marsinah, karena “BAP dibuat di Dan Intel tapi kok BAP-nya kop polisi,” kata Trimoelja dengan nada protes. Hal teknis lain yang dipersoalkan Trimoelja adalah masalah pemeriksaan DNA. Saat Trimoelja menjadi saksi, ia melihat Tim Laboratorium Forensik Polri menemukan ceceran darah di lantai kodim. Sampel darah itu dites DNA-nya untuk mencari tahu apakah itu sampel darah Marsinah atau bukan. Sampel darah itu, menurut Letkol Sapdoni dalam seminar Marsinah Menggugat awal Juni lalu, sudah dibawa ke Inggris. “Tapi negatif, karena terkontaminasi. Kalau Pak Tri mau melihat datanya, ada di kantor Polda,” tutur Sapdoni.

* Penyidikan Kasus Marsinah II

“Kalau penyelidikan babak I saya tidak bisa komentar,” kata Sapdoni di dalam seminar Marsinah Menggugat di Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Tetapi, ia menjelaskan keseriusan penyelidikan bagian II ini dengan kisah bagaimana mereka melakukan bongkar mayat, membawanya ke Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya dalam kondisi sudah hancur, untuk kemudian diteliti Prof. Dr. Harun, dibantu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.

Selain itu, ditemukan adanya benturan benda keras hingga tulang selangkangan dan tulang kemaluannya hancur. Juga diperoleh informasi bahwa golongan darah mayat itu adalah A; padahal pada pemeriksaan pertama golongan darah dinyatakan B. Jadi, pertanyaannya apakah jenazah itu memang benar Marsinah, buruh PT CPS? Namun, pembongkaran mayat itu disaksikan oleh pihak keluarga, yang sebelumnya sudah mengenali mayat itu adalah Marsinah, maka–seperti disampaikan Letkol (Pol.) Sapdoni, “Kami yakin itu Marsinah.”

Yang menarik, Sapdoni mengaku bahwa mereka akan membentuk Tim Koneksitas dalam rangka terus mengungkap kasus Marsinah ini. Apa pula Tim Koneksitas itu? Selama ini, menurut Sapdoni, pihaknya baru melakukan koordinasi saja dengan pihak kodam, tetapi dengan Tim Koneksitas ini direncanakan akan terdiri dari orang dari kejaksaan, penyidik Polri, oditur militer, Dan POM ABRI. Dan untuk itu, diperlukan izin dari Menteri Kehakiman, Panglima ABRI, dan Kapolri. Sapdoni belum tahu pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan izin itu.

Menurut Sapdoni, kasus Marsinah itu, “Memenuhi untuk dibentuk tim itu, karena persoalannya memang pelik sekali.” Trimoelja mengatakan apa pun yang dikatakannya tentang kecurigaannya terhadap aparat, ia tetap tidak melupakan asas praduga tak bersalah. Buat dia, yang penting adanya kesungguhan dari semua pihak untuk mengungkap kasus ini dengan tuntas. Dan, halaman buku kisah Marsinah pun akan terus terbuka….

D&R, Edisi 980627-045/Hal. 24 Rubrik Liputan Utama

16 Tahun, Marsinah Terus Menggugat


Gubuk tua di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk, menjadi saksi bisu kematiannya. Pembunuh sebenarnya masih menjadi tanda tanya. Bahkan, hingga 16 tahun berselang. Pabrik tempatnya bekerja kini lenyap oleh luapan lumpur panas Lapindo.




Jumat sore 8 Mei 2009. Puluhan buruh berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia. Mereka mengenakan topeng wajah perempuan. Perempuan yang keberaniannya tidak pernah dilupakan buruh Indonesia. Dialah Marsinah yang tewas 16 tahun lalu. Mereka berkumpul di pusat ibu kota itu bukan untuk mencari sensasi, melainkan mengingatkan kepada pemerintah negeri ini bahwa kasus Marsinah masih belum terungkap. Pelaku pembunuhan yang sebenarnya harus segera dihadirkan di meja hijau.


Marsinah asal Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, bukanlah buruh yang aktif di serikat pekerja. Kondisi yang serba terbatas membuatnya harus mencari kerja sampingan. Di kontrakannya di daerah Siring, Porong, Sidoarjo, Marsinah terkadang menerima order menjahit. Kadang juga berjualan untuk menutup kebutuhan.


Kondisi perburuhan yang kurang memenuhi rasa keadilan tidak hanya terjadi di era reformasi ini. Di era rezim Orde Baru, upah tidak layak dan terbelenggunya mereka akibat serikat pekerja bentukan pemerintah, menjadi jurang ketidakadilan ketika itu. Hal yang wajar pemogokan kerap terjadi. Dan tentara selalu ikut campur tangan menghadapi pemogokan buruh, termasuk di PT Citra Putra Surya, perusahaan arloji di Sidoarjo, Jawa Timur, tempat Marsinah bekerja.


Kondisi itu tidak menyurutkan buruh PT CPS untuk menuntut hak, pada 3 dan 4 Mei 1993. Upah minimum regional (UMR) yang mereka terima jauh dari upah minimum yang telah ditentukan. Mereka hanya mendapatkan Rp 1.700 per hari, sementara upah minimum yang seharusnya diberikan perusahaan Rp 2.250. "Tuntutan kami berikutnya adalah bubarkan SPSI, tapi Depnaker langsung berdiri dan menyatakan, ‘ini ciri-ciri dari PKI’. Alasannya, SPSI itu bentukan pemerintah dan legal. Kalau melawan langsung dinyatakan PKI. Kami sangat ketakutan kalau di cap sampai sejauh itu," kata Klowor, pemimpin aksi ketika itu, pada peringatan malam kebudayaan “Marsinah Menggugat” di pelataran kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.


Akibat desakan para buruh, manajemen PT CPS pun menyatakan akan memenuhi tuntutan buruh, meski belum secara tertulis. Tiba-tiba pada 5 Mei beberapa buruh yang ikut pemogokan dipanggil untuk rapat dengan perusahaan dengan disaksikan Depnaker, di sebuah tempat yang mungkin tidak masuk akal. Karena tidak masuk akal itulah yang membuat Marsinah secara spontan mendatangi tempat perundingan ulang tersebut: Markas Komando Distrik Militer Sidoarjo.


Marsinah merasa terkejut. Mengapa harus ada perundingan ulang di Kodim Sidoarjo? Dia juga terkejut terkait alotnya perundingan dan ancaman PHK terhadap temannya. Padahal, sebelumnya perusahaan menyepakati akan mengabulkan tuntutan buruh.


Sendirian, tanpa teman, Marsinah mendatangi Makodim Sidoarjo. Usai pulang kerja shift pertama, sekitar magrib, dia datang dengan ojek. Sejak itulah Marsinah lenyap. Dan masyarakat dikagetkan setelah ditemukan mayat perempuan pada 9 Mei 1993. Melalui sebuah robekan resi wesel diketahui mayat itu Marsinah. Buruh pabrik arloji itu menemui kematian ketika berusaha menanyakan keberadaan temannya. Seorang buruh yang menuntut kekurangan Rp 550 dari upah minimum regional, sesuai surat edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 1992.


Alibi Pemerkosaan
Pengadilan “sesat” berlangsung di Pengadilan Negeri Sidoarjo, karena yang terungkap di pengadilan adalah Marsinah tewas karena diperkosa. Secara forensik tidak ditemukan sama sekali bukti yang menunjukkan adanya kerusakan yang mengarah pada pemerkosaan. Namun, skenario “yang maha berkuasa” ketika itu mengatakan Marsinah diperkosa. "Ada orang yang direkayasa untuk melakukan pembunuhan terhadap Marsinah," kata Hari Widodo, mantan koordinator Tim Pencari Fakta Kasus Marsinah, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.


Sementara fakta forensik dari RSUD Nganjuk menyatakan tidak ada tanda-tanda Marsinah diperkosa. Tulang panggul hancur total yang tidak disebabkan benda keras. Ketika persidangan kasus Mutiari, Direktur Personalia PT CPS, dimulai di Pengadilan Negeri Sidoarjo, jasad Marsinah kembali diangkat dan diautopsi untuk kedua kalinya. Hasilnya, ditemukan tulang panggul dan leher hancur. "Fakta semacam ini tidak pernah diungkap di pengadilan. Kita bisa mengambil kesimpulan sendiri. Bagaimana mungkin tubuh manusia yang tidak ditemukan luka, tapi hancur di bagian dalamnya? Kita bisa simpulkan bagaimana Marsinah dibunuh," ujar Hari.


Pengadilan tingkat pertama, 7 orang manajemen PT CPS dinyatakan bersalah. Di tingkat banding keputusan diperkuat dan di tingkat kasasi dinyatakan tidak bersalah. Dengan selesainya pengadilan ini, kasus pembunuhan Marsinah tetap menjadi gelap. "Yang jelas, Marsinah tidak pernah diperkosa. Tapi, Marsinah dibunuh dengan menggunakan alibi pemerkosaan. Dan itu secara sadar, digunakan oleh pembunuhnya," kata Hari.


Bukti dan saksi menunjukkan ada perundingan di Markas Kodim V Brawijaya Sidoarjo. Keterkaitannya dengan tentara kelihatan dari awal. Karena hal ini pula, desakan penuntasan kasus ini terus membesar ketika itu. "Kasus ini tidak hanya menjadi urusan di tingkat lokal, karena ketika masa rezim Soeharto peran badan intelijen ABRI sangat menentukan. Ini skenario sampai mereka bisa merekayasa pengadilan, tidak hanya menjadi urusan Jawa Timur, tapi juga menjadi urusan Jakarta pada saat itu," kata Heri.


Sejak era presiden Soeharto, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri, kematian Marsinah coba diangkat lagi ke permukaan, tapi kejelasan itu tetap nihil. Hukum di negeri yang demokratis ini seakan juga terkubur dengan jasad Marsinah. Skenario besar untuk membunuh Marsinah masih tertutup rapat. Hilangnya para petinggi PT CPS selama satu bulan sebelum ditemukan di Polda Jawa Timur juga belum terungkap dengan pasti. Fenomena hukum dan keadilan yang nyaris terhukum.Sistem hukum yang selalu menempatkan keadilan buruh pada strata terendah.


Marsinah Kini
Bagi para aktivis buruh, sosok Marsinah adalah perempuan luar biasa. Tidak hanya memperjuangkan kepentingan individu, tapi juga kepentingan seluruh buruh dan keluarganya. ”Ini menjadi motivasi untuk melawan musuh kami sebenarnya. Tidak hanya pemilik modal, tapi konspirasi di antara birokrasi penguasa negara dan pengusaha semakin solid, yang tidak pernah berpihak pada keadilan. Buruh hanya ingin mendapatkan keadilan. Itu saja,” kata Nining Elitos, Ketua Umum Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia.


Orang hidup butuh pekerjaan. Namun bukan berarti pekerja bisa ditindas begitu saja oleh pemodal. Harus ada kesetaraan antara keduanya. Hasil produksi juga harus bisa dinikmati oleh buruh. Selama 16 tahun terakhir, setelah Marsinah dibunuh, tidak ada perubahan yang signifikan. Sekarang justru semakin parah dan semakin tidak jelas. Kepastian kerja dan penghidupan yang layak bagi rakyat masih jauh dari harapan. ”Ini adalah suntikan, yang mau membunuh rakyat harus dilawan, untuk menghilangkan segala ketidakadilan. Kenapa buruh selalu dibuat ancaman? Kita hanya menuntut hak. Sama sekali tidak ada memanusiakan manusia di pemerintah kita,” ujar Nining.


Buruh belum mendapatkan keadilan sejati dari pemerintah. Buruh harus menyatukan kekuatannya. Seperti dikatakan Marsinah kepada Klowor, buruh harus bersatu, buang kepentingan individu, dan kedepankan kepentingan buruh dan rakyat. Meski Marsinah telah tiada, ”Marsinah-Marsinah” lain tetap meneruskan semangatnya untuk terus menggugat.


http://www.vhrmedia.com/

KASUS MARSINAH

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993.

Sebelum diketemukan mayatnya tanggal 9 Mei 2002 di Dusun Jegong Kec. Wilangan Nganjuk, Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain; terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo, Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Namun mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 2002.

Penemuan mayat Marsinah, telah menimbulkan tanda tanya besar apakah kematiannya terkait dengan unjuk rasa di PT. CPS atau sekedar pembunuhan biasa. Oleh karenanya, pada tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Dalam persidangan sampai dengan tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa"

Keterlibatan pihak Kodim Sidoarjo dalam penanganan unjuk rasa di PT. CPS dirasakan telah melampau wewenang sebagai aparat teritorial sehingga menyulut berkembangnya berbagai issue yang langsung ataupun tidak langsung telah menimbulkan sorotan masyarakat bahwa "ada keterkaitan aparat teritorial dam kasus pembunuhan Marsinah".

Kasus Pembunuhan Marsinah sampai saat ini belum pernah tuntas penyelidikannya, pelakunya masih bebas berkeliaran menghirup udara segar tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. HukpostTime=07:43

sumber Tempo interaktif

KETERLIBATAN KOMNAS HAM DALAM UPAYA MENGUNGKAP KASUS PEMBUNUHAN MARSINAH

Setelah terjadinya kasus pembunuhan terhadap marsinah, Komnas HAM telah menerima berbagai laporan dan pengaduan. Oleh karenanya, sejak awal Komnas HAM terlibat aktif dalam upaya pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah. Tercatat pada tahun 1994, Ketua Komnas HAM saat itu, Bapak Ali Said, telah mengeluarkan Surat Perintah Nomor 10/TUA/III/94. Surat Perintah itu diberikan kepada Ali Said, SH, Marzuki Darusman,SH, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH, Drs. Bambang W. Soeharto, Prof. Dr. Muladi, SH, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Prof. Dr. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA, Clementino Dos Reis Amaral, H.R. Djoko Soegianto, SH dan Soegiri, SH selaku Tim Pencari Fakta. Tim Pencari Fakta diperintahkan untuk segera ke Surabaya dan tempat-tempat lain yang diperlukan guna mengadakan pengecekan dan sekaligus berusaha untuk mengetahui siapa-siapa yang sebenarnya terlibat dalam kasus pembunuhan Marsinah.

Selanjutnya pada tanggal 16 Juli 1999, Tim Komnas HAM yang terdiri dari Koesparmono Irsan, Soegiri, PL. Tobing dan Sriyana bersama-sama pejabat dari Departemen Tenaga Kerja kembali melakukan kunjungan dinas ke Surabaya dengan tujuan untuk berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait di Jawa Timur dalam upaya pengungkapan kasus pembunuhan terhadap Marsinah. Kunjungan kerja ini merupakan perwujudan saran Menteri Kehakiman agar dibentuk Tim Khusus yang terdiri dari Departemen Tenaga Kerja dan Komnas Ham untuk menyelesaikan kasus Marsinah. Selain itu, Komnas HAM secara aktif telah meminta Polda Jawa Timur maupun Pomdam Jawa Timur untuk menindaklanjuti hasil temuan Polda serta menyarankan pembentukan Tim gabungan yang terdiri dari Polri, Pomdam dan kejaksaan.

Awal bulan Mei 2002, sidang pleno Komnas HAM telah memutuskan akan membuka kembali kasus Marsinah, seorang buruh PT.Catur Putra Surya di Surabaya yang dibunuh oleh sekelompok orang tak dikenal. Alasan Komnas HAM membuka kembali kasus ini adalah telah ditemukannya bukti-bukti baru yang sebelumnya tidak muncul. Oleh karena itu tanggal 20 Mei 2002 kemarin Komnas HAM telah mengirim Tim Penyelidiknya ke Surabaya yang dipimpin oleh Bambang W. Soeharto didampingi oleh Samsudin dan Nur Anwar untuk melakukan penyelidikan lanjutan.


sumber komnasham