Pengusiran warga negara Indonesia (WNI) terjadi di Kairo, Mesir. Kisah yang dialami Tri Mulyati itu karena majikannya tak suka pada aksi solidaritas mahasiswa di Bundaran HI Jakarta yang disertai menginjak-injak foto Presiden Hosni Mubarak.
Hal ini dinilai pengamat Timur Tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Fahmi Salsabila, terlalu berlebihan. Sebab aksi yang dilakukan di Indonesia adalah bentuk dukungan terhadap rakyat Mesir yang selama 3 dekade hidup di bawah pemerintahan yang otoriter dan korup.
"Yang pro Mubarak apakah betul-betul rakyat Mesir atau dibayar. Kemarin di pemberitaan ada aparat yang dipakaikan baju sipil. Malah di Al Jazeera dikatakan, ada pasukan Badui atau pasukan komando Israel yang membantu massa pro Mubarak," ujar Fahmi dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (8/2/2011).
Dia menambahkan, sejumlah wartawan pun diusir oleh orang-orang pro Mubarak lantaran mereka tidak ingin demonstrasi di Mesir diliput besar-besaran. Menurutnya, menyampaikan pendapat di era demokrasi sah-sah saja sepanjang tidak anarkis.
"Saya kira sah-sah saja kita mendukung rakyat Mesir, karena kita juga pernah mengalami pengalaman yang sama. Saya kira pengusiran ini berlebihan. WNI kita yang di sana kan legal, tidak seharusnya diusir karena aksi di Jakarta," sambung Fahmi.
Staf pengajar di jurusan Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Jakarta ini berpendapat, di tengah demonstrasi anti Mubarak, pasti ada orang-orang yang menginginkan status quo. Hal itu dikarenakan beberapa orang yang merasa nyaman dengan kedudukannya lantaran berada di lingkaran dekat Mubarak. Hal itu bisa dimaklumi.
"Tapi saya rasa itu sebagian kecil. Sebagian besar dari 8 juta warga tidak suka dengan Mubarak. Karena dulu kalau sedikit berseberangan dipenjara. Tidak ada toleransi," bebernya.
Fahmi mengingatkan ketika reformasi terjadi di Indonesia pada 1998. Kala itu sebagian besar rakyat menginginkan perubahan sehingga terjadilah perubahan di pemerintahan. Meski demikian, tidak dipungkiri masih ada pihak-pihak yang menginginkan status quo.
"Yang ingin status quo pasti ada karena sudah lama merasa aman. Tapi sebagian besar saya rasa sama dengan kita dulu pada zaman Soeharto," ucap dia.
Kendati banyak mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Mesir karena beasiswa dari pemerintah Mesir, namun berlebihan jika mereka diusir dari Tanah Paraoh sebagai akibat aksi di Jakarta. Fahmi berpandangan, meski syekh di Universitas Al Azhar Kairo harus tunduk pada Mubarak, namun hal itu tidak akan menjadi landasan pengusiran.
"Ulama Al Azhar sudah cukup terbuka. Mahasiswa di sana untuk belajar. Seharusnya pemerintah sana malu kalau beasiswa diputus di tengah jalan karena hal-hal yang belum jelas," jelas Fahmi.
Sebelumnya diberitakan, Tri Mulyati, salah seorang istri mahasiswa RI di Mesir diusir majikannya setelah majikan itu menyaksikan aksi demo di Bundaran HI yang isinya mendukung masyarakat Mesir menurunkan rezim Hosni Mubarak.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tatang Razak menyatakan, keterangan dari KBRI di Kairo, statement-statement di Indonesia dimuat di radio dan media cetak di Mesir. Hal ini lalu dianggap oleh warga Mesir bahwa Indonesia turut campur atas apa yang terjadi di Mesir. Ini memicu ketidaksenangan sekelompok orang Mesir.
Sebagai bentuk solidaritas atas aksi antipemerintah di Mesir, aksi sebenarnya tidak hanya digelar di Indonesia. Di sejumlah negara, aksi serupa juga terjadi, misalnya di Amerika Serikat dan Malaysia.
Hal ini dinilai pengamat Timur Tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Fahmi Salsabila, terlalu berlebihan. Sebab aksi yang dilakukan di Indonesia adalah bentuk dukungan terhadap rakyat Mesir yang selama 3 dekade hidup di bawah pemerintahan yang otoriter dan korup.
"Yang pro Mubarak apakah betul-betul rakyat Mesir atau dibayar. Kemarin di pemberitaan ada aparat yang dipakaikan baju sipil. Malah di Al Jazeera dikatakan, ada pasukan Badui atau pasukan komando Israel yang membantu massa pro Mubarak," ujar Fahmi dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (8/2/2011).
Dia menambahkan, sejumlah wartawan pun diusir oleh orang-orang pro Mubarak lantaran mereka tidak ingin demonstrasi di Mesir diliput besar-besaran. Menurutnya, menyampaikan pendapat di era demokrasi sah-sah saja sepanjang tidak anarkis.
"Saya kira sah-sah saja kita mendukung rakyat Mesir, karena kita juga pernah mengalami pengalaman yang sama. Saya kira pengusiran ini berlebihan. WNI kita yang di sana kan legal, tidak seharusnya diusir karena aksi di Jakarta," sambung Fahmi.
Staf pengajar di jurusan Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Jakarta ini berpendapat, di tengah demonstrasi anti Mubarak, pasti ada orang-orang yang menginginkan status quo. Hal itu dikarenakan beberapa orang yang merasa nyaman dengan kedudukannya lantaran berada di lingkaran dekat Mubarak. Hal itu bisa dimaklumi.
"Tapi saya rasa itu sebagian kecil. Sebagian besar dari 8 juta warga tidak suka dengan Mubarak. Karena dulu kalau sedikit berseberangan dipenjara. Tidak ada toleransi," bebernya.
Fahmi mengingatkan ketika reformasi terjadi di Indonesia pada 1998. Kala itu sebagian besar rakyat menginginkan perubahan sehingga terjadilah perubahan di pemerintahan. Meski demikian, tidak dipungkiri masih ada pihak-pihak yang menginginkan status quo.
"Yang ingin status quo pasti ada karena sudah lama merasa aman. Tapi sebagian besar saya rasa sama dengan kita dulu pada zaman Soeharto," ucap dia.
Kendati banyak mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Mesir karena beasiswa dari pemerintah Mesir, namun berlebihan jika mereka diusir dari Tanah Paraoh sebagai akibat aksi di Jakarta. Fahmi berpandangan, meski syekh di Universitas Al Azhar Kairo harus tunduk pada Mubarak, namun hal itu tidak akan menjadi landasan pengusiran.
"Ulama Al Azhar sudah cukup terbuka. Mahasiswa di sana untuk belajar. Seharusnya pemerintah sana malu kalau beasiswa diputus di tengah jalan karena hal-hal yang belum jelas," jelas Fahmi.
Sebelumnya diberitakan, Tri Mulyati, salah seorang istri mahasiswa RI di Mesir diusir majikannya setelah majikan itu menyaksikan aksi demo di Bundaran HI yang isinya mendukung masyarakat Mesir menurunkan rezim Hosni Mubarak.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tatang Razak menyatakan, keterangan dari KBRI di Kairo, statement-statement di Indonesia dimuat di radio dan media cetak di Mesir. Hal ini lalu dianggap oleh warga Mesir bahwa Indonesia turut campur atas apa yang terjadi di Mesir. Ini memicu ketidaksenangan sekelompok orang Mesir.
Sebagai bentuk solidaritas atas aksi antipemerintah di Mesir, aksi sebenarnya tidak hanya digelar di Indonesia. Di sejumlah negara, aksi serupa juga terjadi, misalnya di Amerika Serikat dan Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar