Twitter sejumlah praktisi hukum hari ini membicarakan satu hal: curhat Alanda Kariza. Dengan tulisan yang apik, mahasiswi 19 tahun ini mengungkapkan kepedihannya atas nasib ibunya sebagai terdakwa Bank Century yang dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar!
Meskipun belum vonis, namun angka itu terbilang menakutkan bagi Alanda. Dia lalu membandingkan dengan vonis mantan pejabat Century -- atasan ibunya -- yang jauh lebih ringan. Bahkan lebih berat dibandingkan hukuman yang disandang Gayus Tambunan.
Kisah pilu Alanda bisa dibaca di blognya: http://alandakariza.com/ibu.
Alanda menceritakan, ibunya yang bernama Arga Tirta Kirana dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit bermasalah, yang disebut sebagai “kredit komando” karena bisa cair tanpa melalui prosedur yang seharusnya.
Alanda menulis, "Beberapa kredit cair tanpa ditandatangani oleh Ibu sebelumnya. Padahal, seharusnya semua kredit baru bisa cair setelah ditandatangani oleh beliau yang menjabat sebagai Kepala Divisi Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.
“Kredit komando” ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka berdua, karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan tandatangan Ibu pun “dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka? Nonsens.
Oleh karena itulah, saya optimis. Saya tahu bahwa Ibu tidak bersalah, walaupun saya ‘awam’ dalam dunia hukum perbankan. Saya selalu berkata kepada Ibu bahwa semua akan baik-baik saja, karena itulah yang saya percayai, bahwa negara ini (seharusnya) melindungi mereka yang tidak bersalah, bahwa negara ini adalah negara hukum," tulisnya.
Tapi harapan tinggal harapan. Jaksa mengganjar ibu Alanda dengan tuntutan 10 tahun dan denda Rp 10 miliar.
Alanda, yang berhobi menulis dan telah menelurkan 3 buku, tak habis pikir dengan tuntutan itu. Dia lalu membandingkan tuntutan itu dengan hukuman vonis Gayus.
"Gayus – kita semua tahu kasusnya, kekayaannya, kontroversinya – divonis 7 tahun penjara dan denda 300 juta. Robert Tantular dituntut hukuman penjara selama 8 tahun dan Hermanus Hasan Muslim dituntut hukuman penjara selama 6 tahun dari PN Jakarta Pusat. Lalu, mengapa Ibu 10 tahun? Setolol dan seaneh apapun saya, saya cukup waras untuk tidak sanggup mengerti konsep tersebut menggunakan nalar dan logika saya. Apakah karena keluarga kami tidak memiliki uang? Ataukah karena Ibu justru terlalu baik?" gugatnya.
Kenyataan ini membuat Alanda yang di usia mudanya telah berusaha menyumbangkan prestasinya untuk Indonesia menjadi kecewa berat.
"Ini negara yang saya dulu percayai, negara yang katanya berlandaskan hukum. Atas nama Indonesia, saya dulu pergi ke forum internasional Global Changemakers. Atas nama Indonesia, saya mengikuti summer course di Montana. Untuk Indonesia, saya memiliki ide dan mengajak teman-teman menyelenggarakan Indonesian Youth Conference 2010. Indonesia yang sama yang membiarkan ketidakadilan menggerogoti penduduknya. Indonesia yang sama yang membiarkan siapapun mengkambinghitamkan orang lain ketika berbuat kesalahan, selama ada uang. Indonesia yang sama yang menghancurkan mimpi-mimpi saya," tulisnya.
Meskipun belum vonis, namun angka itu terbilang menakutkan bagi Alanda. Dia lalu membandingkan dengan vonis mantan pejabat Century -- atasan ibunya -- yang jauh lebih ringan. Bahkan lebih berat dibandingkan hukuman yang disandang Gayus Tambunan.
Kisah pilu Alanda bisa dibaca di blognya: http://alandakariza.com/ibu.
Alanda menceritakan, ibunya yang bernama Arga Tirta Kirana dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit bermasalah, yang disebut sebagai “kredit komando” karena bisa cair tanpa melalui prosedur yang seharusnya.
Alanda menulis, "Beberapa kredit cair tanpa ditandatangani oleh Ibu sebelumnya. Padahal, seharusnya semua kredit baru bisa cair setelah ditandatangani oleh beliau yang menjabat sebagai Kepala Divisi Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.
“Kredit komando” ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka berdua, karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan tandatangan Ibu pun “dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka? Nonsens.
Oleh karena itulah, saya optimis. Saya tahu bahwa Ibu tidak bersalah, walaupun saya ‘awam’ dalam dunia hukum perbankan. Saya selalu berkata kepada Ibu bahwa semua akan baik-baik saja, karena itulah yang saya percayai, bahwa negara ini (seharusnya) melindungi mereka yang tidak bersalah, bahwa negara ini adalah negara hukum," tulisnya.
Tapi harapan tinggal harapan. Jaksa mengganjar ibu Alanda dengan tuntutan 10 tahun dan denda Rp 10 miliar.
Alanda, yang berhobi menulis dan telah menelurkan 3 buku, tak habis pikir dengan tuntutan itu. Dia lalu membandingkan tuntutan itu dengan hukuman vonis Gayus.
"Gayus – kita semua tahu kasusnya, kekayaannya, kontroversinya – divonis 7 tahun penjara dan denda 300 juta. Robert Tantular dituntut hukuman penjara selama 8 tahun dan Hermanus Hasan Muslim dituntut hukuman penjara selama 6 tahun dari PN Jakarta Pusat. Lalu, mengapa Ibu 10 tahun? Setolol dan seaneh apapun saya, saya cukup waras untuk tidak sanggup mengerti konsep tersebut menggunakan nalar dan logika saya. Apakah karena keluarga kami tidak memiliki uang? Ataukah karena Ibu justru terlalu baik?" gugatnya.
Kenyataan ini membuat Alanda yang di usia mudanya telah berusaha menyumbangkan prestasinya untuk Indonesia menjadi kecewa berat.
"Ini negara yang saya dulu percayai, negara yang katanya berlandaskan hukum. Atas nama Indonesia, saya dulu pergi ke forum internasional Global Changemakers. Atas nama Indonesia, saya mengikuti summer course di Montana. Untuk Indonesia, saya memiliki ide dan mengajak teman-teman menyelenggarakan Indonesian Youth Conference 2010. Indonesia yang sama yang membiarkan ketidakadilan menggerogoti penduduknya. Indonesia yang sama yang membiarkan siapapun mengkambinghitamkan orang lain ketika berbuat kesalahan, selama ada uang. Indonesia yang sama yang menghancurkan mimpi-mimpi saya," tulisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar