Ini hari kesembilan dari hari-hari kemarahan yang membara di Mesir. Setelah lebih 150 orang tewas, satu juta warga Mesir, tadi malam, berdemo. Tuntutan mereka makin keras Hosni Mubarak harus turun dari kursi presiden. Namun Sang Firaun itu bergeming. Ia masih ngeyel tidak mau mundur. Ia masih mencoba melakukan tawar menawar politik untuk menyelamatkan kepentingannya.
Ketika malam semakin malam, jumlah demonstran tidak berkurang. Jam malam tidak digubris. Demonstran di Kairo dan Alexandria semakin bertambah. Mubarak muncul berpidato di televisi. Dalam siaran langsung itu, sang presiden yang sudah mencengkeram Mesir selama 30 tahun itu tidak mau menyerah pada tuntutan sejuta demonstran.
Mubarak mengatakan, dirinya ingin mengakhiri jabatannya sebagai Presiden Mesir dalam suasana damia, tanpa kekerasan. "Saya menginginkan suasana damai dalam transisi kepemimpinan di Mesir," ujarnya.
Pria yang memerintah Mesir sejak 14 Oktober 1981 itu hanya menuruti permintaan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama untuk tidak akan mencalonkan diri dalam pemilu Mesir pada September 2011 nanti. "Langkah ini saya lakukan setelah sekian tahun saya memimpin Mesir. Ini demi rakyat yang saya cintai," kata Mubarak.
Kengeyelan Mubarak tentu saja tidak menerbitkan simpati pada rakyat Mesir yang sedang memuncak kemarahannya itu. Mereka mencemooh sang presiden. Omongan sang presiden tak ubahnya hanya lelucon aneh saja. Bagaimana mungkin seorang diktator yang sudah begitu kejam selama pemerintahannya bisa menjamin terjadinya kedamaian?
Hingga dini hari massa tidak menyusut dan terus meneriakkan yel-yel yang menuntut Mubarak turun. Warga Mesir tidak sudi satu hari pun lagi dipimpin Mubarak. Mereka sudah muak dengan kemiskinan, pengangguran dan kekejaman rezim Mubarak. Kesenjangan kemiskinan di Mesir memang benar-benar mencolok mata. Angkutan publik begitu reot, sementara di jalanan yang sama melaju mobil pejabat yang begitu mewahnya.
Kemiskinan dan pengangguran di Arab termasuk Mesir memang sudah begitu akut. Data resmi menyebut pengangguran di dunia Arab mencapai 15 persen. Namun data sebuah kerjasama studi oleh Liga Arab dan Organisasi Pembangunan PBB (UNDP) menyatakan jumlah angka pengangguran anak muda di Arab mencapai 50 persen. Ini merupakan angka tertinggi di dunia. Menurut Managing Director IMF Dominique Strauss-Kahn, angka kemiskinan di Mesir pada Oktober hingga kuartal Desember mencapai 18 persen dari 80 juta penduduknya.
Kemiskinan, pengangguran dan otoriterisme sesungguhnya tidak beranjak dari Mesir sejak 30 tahun lalu. Hari-hari kemarahan yang kini membara di Mesir sesungguhnya sudah pernah terjadi pada masa Mesir diperintah Anwar Sadat. Pada zaman presiden yang menjadi superstar itu, juga 160 warga Mesir tewas karena berdemo memprotes pengurangan subsidi. Pada 30 tahun lalu itu rakyat Mesir juga muak pada korupsi dan kesenjangan kemiskinan yang begitu tinggi.
Ternyata Hosni Mubarak tidak belajar pada Sadat. Sungguh sangat disayangkan bila Mubarak berakhir tragis seperti pendahulunya yang ditembak mati tersebut. Padahal pada awal pemerintahannya menggantikan Sadat, Mubarak menuai banyak pujian. Mubarak saat itu adalah harapan besar Mesir. Pada Oktober 1981 itu, ia dikenal sebagai orang yang hidup sederhana, bersih dan tidak korup. Dia memenuhi harapan banyak orang bahwa korupsi di Mesir akan hilang.
Saat berbicara pada parlemen, 8 November 1981, dengan suara tegas Mubarak menjanjikan membasmi korupsi tingkat atas. Pria kelahiran Kafr-El Meselha, Al Monufiyah, 4 Mei 1928 itu menyatakan dia akan berusaha mengubah praktek tidak baik dalam aparat pemerintah.
Tidak hanya berbicara, Mubarak juga melakukan tindakan untuk memperbaiki demokrasi Mesir. Di masa awal pemerintahannya, ia membebaskan 31 tahanan politik yang ditahan Sadat. Para tahanan politik itu, termasuk Mohamed Heikal, bahkan dijamunya ke Istana Presiden. Heikal, bekas redaktur Al Ahram yang menulis buku tentang Anwar Sadat berjudul Kemarau Kemarahan itu pun memuji Mubarak. "Ini suatu hal besar," kata Heikal saat itu.
Tapi lihatlah sekarang. Mubarak yang dulu dipuja-puja itu tidak ada bedanya dengan Sadat. Mubarak juga menjadi bukti betapa lidah tidak bertulang, apalagi lidah yang telah mencecap nikmatnya kekuasaan. Pria yang awalnya antikorupsi itu sekarang menjadi pelaku korupsi. Selama 30 tahun berkuasa, orang yang awalnya dikenal bersih itu tidak membuat rakyat Mesir sejahtera. Al Infitah, politik pintu terbuka, warisan Sadat yang diteruskan Mubarak untuk menggalakkan investasi modal Mesir hanya membuat makmur presiden, keluarga, dan para jenderal yang menjadi anteknya.
Menurut harian Alkhabar, jumlah kekayaan Mubarak dan keluarganya mencapai sekitar US$ 40 miliar atau sekitar Rp 360 triliun. Sementara rakyat Mesir menderita dan sengsara. Tidak hanya menganggur, kebebasan mereka pun diberangus. Bila Sadat menahan 1.500 orang, Organisasi HAM mesir menuding Mubarak menahan sekitar 4.000 orang tanpa ada proses peradilan.
Dalam 'Kemarau Kemarahan', Heikal menulis, tragedi pembunuhan Sadat membuktikan bahwa orang Mesir, sebagaimana begitu sering terbukti pada masa lalu mampu mengambil alih dalam keadaan darurat. Pernyataan Heikal terbukti, zaman Mubarak pun, rakyat Mesir kembali mengambil alih keadaan darurat itu. Heikal benar, bahwa di dalam lubuk kesadaran setiap orang kecil bahwa bencana terbesar yang dapat dialami negara adalah rusaknya tatanan aturan.
Maka awal Januari 2011, meniru Tunisia yang sukses dengan Revolusi Melati, aktivis menyerukan rakyat Mesir untuk melakukan gerakan bersama melawan kemiskinan, pengangguran, korupsi pemerintah, dan kekuasaan Mubarak. 17 Januari, seorang pria membakar diri di luar gedung parlemen. 25 Januri, rakyat mulai turun ke jalan dalam jumlah besar. Mereka menyebut hari itu sebagai "The Day of Anger', hari kemarahan.
Dan ini hari kesembilan hari kemarahan. Satu juta lebih rakyat Mesir makin keras ingin menggulingkan Mubarak. Kemarahan rakyat Mesir merupakan peringatan bahwa rakyat akan selalu menggulingkan penguasa yang zalim, penguasa yang memperkaya diri tapi tidak mampu mensejahterakan rakyatnya.
Ketika malam semakin malam, jumlah demonstran tidak berkurang. Jam malam tidak digubris. Demonstran di Kairo dan Alexandria semakin bertambah. Mubarak muncul berpidato di televisi. Dalam siaran langsung itu, sang presiden yang sudah mencengkeram Mesir selama 30 tahun itu tidak mau menyerah pada tuntutan sejuta demonstran.
Mubarak mengatakan, dirinya ingin mengakhiri jabatannya sebagai Presiden Mesir dalam suasana damia, tanpa kekerasan. "Saya menginginkan suasana damai dalam transisi kepemimpinan di Mesir," ujarnya.
Pria yang memerintah Mesir sejak 14 Oktober 1981 itu hanya menuruti permintaan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama untuk tidak akan mencalonkan diri dalam pemilu Mesir pada September 2011 nanti. "Langkah ini saya lakukan setelah sekian tahun saya memimpin Mesir. Ini demi rakyat yang saya cintai," kata Mubarak.
Kengeyelan Mubarak tentu saja tidak menerbitkan simpati pada rakyat Mesir yang sedang memuncak kemarahannya itu. Mereka mencemooh sang presiden. Omongan sang presiden tak ubahnya hanya lelucon aneh saja. Bagaimana mungkin seorang diktator yang sudah begitu kejam selama pemerintahannya bisa menjamin terjadinya kedamaian?
Hingga dini hari massa tidak menyusut dan terus meneriakkan yel-yel yang menuntut Mubarak turun. Warga Mesir tidak sudi satu hari pun lagi dipimpin Mubarak. Mereka sudah muak dengan kemiskinan, pengangguran dan kekejaman rezim Mubarak. Kesenjangan kemiskinan di Mesir memang benar-benar mencolok mata. Angkutan publik begitu reot, sementara di jalanan yang sama melaju mobil pejabat yang begitu mewahnya.
Kemiskinan dan pengangguran di Arab termasuk Mesir memang sudah begitu akut. Data resmi menyebut pengangguran di dunia Arab mencapai 15 persen. Namun data sebuah kerjasama studi oleh Liga Arab dan Organisasi Pembangunan PBB (UNDP) menyatakan jumlah angka pengangguran anak muda di Arab mencapai 50 persen. Ini merupakan angka tertinggi di dunia. Menurut Managing Director IMF Dominique Strauss-Kahn, angka kemiskinan di Mesir pada Oktober hingga kuartal Desember mencapai 18 persen dari 80 juta penduduknya.
Kemiskinan, pengangguran dan otoriterisme sesungguhnya tidak beranjak dari Mesir sejak 30 tahun lalu. Hari-hari kemarahan yang kini membara di Mesir sesungguhnya sudah pernah terjadi pada masa Mesir diperintah Anwar Sadat. Pada zaman presiden yang menjadi superstar itu, juga 160 warga Mesir tewas karena berdemo memprotes pengurangan subsidi. Pada 30 tahun lalu itu rakyat Mesir juga muak pada korupsi dan kesenjangan kemiskinan yang begitu tinggi.
Ternyata Hosni Mubarak tidak belajar pada Sadat. Sungguh sangat disayangkan bila Mubarak berakhir tragis seperti pendahulunya yang ditembak mati tersebut. Padahal pada awal pemerintahannya menggantikan Sadat, Mubarak menuai banyak pujian. Mubarak saat itu adalah harapan besar Mesir. Pada Oktober 1981 itu, ia dikenal sebagai orang yang hidup sederhana, bersih dan tidak korup. Dia memenuhi harapan banyak orang bahwa korupsi di Mesir akan hilang.
Saat berbicara pada parlemen, 8 November 1981, dengan suara tegas Mubarak menjanjikan membasmi korupsi tingkat atas. Pria kelahiran Kafr-El Meselha, Al Monufiyah, 4 Mei 1928 itu menyatakan dia akan berusaha mengubah praktek tidak baik dalam aparat pemerintah.
Tidak hanya berbicara, Mubarak juga melakukan tindakan untuk memperbaiki demokrasi Mesir. Di masa awal pemerintahannya, ia membebaskan 31 tahanan politik yang ditahan Sadat. Para tahanan politik itu, termasuk Mohamed Heikal, bahkan dijamunya ke Istana Presiden. Heikal, bekas redaktur Al Ahram yang menulis buku tentang Anwar Sadat berjudul Kemarau Kemarahan itu pun memuji Mubarak. "Ini suatu hal besar," kata Heikal saat itu.
Tapi lihatlah sekarang. Mubarak yang dulu dipuja-puja itu tidak ada bedanya dengan Sadat. Mubarak juga menjadi bukti betapa lidah tidak bertulang, apalagi lidah yang telah mencecap nikmatnya kekuasaan. Pria yang awalnya antikorupsi itu sekarang menjadi pelaku korupsi. Selama 30 tahun berkuasa, orang yang awalnya dikenal bersih itu tidak membuat rakyat Mesir sejahtera. Al Infitah, politik pintu terbuka, warisan Sadat yang diteruskan Mubarak untuk menggalakkan investasi modal Mesir hanya membuat makmur presiden, keluarga, dan para jenderal yang menjadi anteknya.
Menurut harian Alkhabar, jumlah kekayaan Mubarak dan keluarganya mencapai sekitar US$ 40 miliar atau sekitar Rp 360 triliun. Sementara rakyat Mesir menderita dan sengsara. Tidak hanya menganggur, kebebasan mereka pun diberangus. Bila Sadat menahan 1.500 orang, Organisasi HAM mesir menuding Mubarak menahan sekitar 4.000 orang tanpa ada proses peradilan.
Dalam 'Kemarau Kemarahan', Heikal menulis, tragedi pembunuhan Sadat membuktikan bahwa orang Mesir, sebagaimana begitu sering terbukti pada masa lalu mampu mengambil alih dalam keadaan darurat. Pernyataan Heikal terbukti, zaman Mubarak pun, rakyat Mesir kembali mengambil alih keadaan darurat itu. Heikal benar, bahwa di dalam lubuk kesadaran setiap orang kecil bahwa bencana terbesar yang dapat dialami negara adalah rusaknya tatanan aturan.
Maka awal Januari 2011, meniru Tunisia yang sukses dengan Revolusi Melati, aktivis menyerukan rakyat Mesir untuk melakukan gerakan bersama melawan kemiskinan, pengangguran, korupsi pemerintah, dan kekuasaan Mubarak. 17 Januari, seorang pria membakar diri di luar gedung parlemen. 25 Januri, rakyat mulai turun ke jalan dalam jumlah besar. Mereka menyebut hari itu sebagai "The Day of Anger', hari kemarahan.
Dan ini hari kesembilan hari kemarahan. Satu juta lebih rakyat Mesir makin keras ingin menggulingkan Mubarak. Kemarahan rakyat Mesir merupakan peringatan bahwa rakyat akan selalu menggulingkan penguasa yang zalim, penguasa yang memperkaya diri tapi tidak mampu mensejahterakan rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar