Hingga kini belum diketahui apa penyebab penyakit Guillain–Barré Syndrome (GBS). Namun beberapa penderitanya kini telah dinyatakan sembuh.
Sejumlah testimoni pun diterima Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka, dua penderita GBS, dari sejumlah penderita GBS dewasa yang telah sembuh usai dirawat di RS Cipto Mangunkusumo.
Mayoritas pasien GBS di RSCM memang orang dewasa berusia 40 tahun ke atas. Mereka dinyatakan sembuh dari penyakit yang dapat mengakibatkan kelumpuhan bahkan gagal nafas dalam jangka waktu cukup lama bagi penderitanya ini. Salah satu pasien yang telah sembuh adalah remaja bernama Cadas Propopuli Azzam Baribin.
"Awalnya anak saya mengalami kesemutan di telapak kaki yang menyebabkan sakit luar biasa hingga ke paha, lalu saya bawa ke dokter, akhirnya dirujuk ke RS Pondok Indah," ujar orang tua Cadas, Nia Damayanti, saat ditemuiVIVAnews.com dalam acara deklarasi Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka di Kayumanis, Jakarta Timur, Minggu, 7 Agustus 2011.
Menurut Nia, anak sulungnya itu mulai dirawat di RS Pondok Indah sejak 2 Mei 2010 selama dua minggu. Dalam masa pengobatan tersebut, Nia mengatakan bisa mengeluarkan biaya hingga lebih dari Rp24 juta per hari.
"Penderita GBS itu obatnya bernama Gamunex, berupa cairan yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui infus. Kadar obatnya tergantung berat badan pasien, kebetulan untuk anak saya waktu itu membutuhkan 18 ampul dalam sehari," katanya.
Dijelaskan Nia, satu botol Gamunex berisil lima ampul, harga per botolnya Rp7,5 juta. Dalam sehari, Nia membeli 3 botol Gamunex dan 3 ampul satuan seharga Rp2,5 juta.
"Pokoknya totalnya harus 18 ampul sehari, itu harganya bisa Rp24 juta sehari. Sampai-sampai suster di RSPI itu suka kasihan tiap memberi bon itu kepada saya tiap hari, dan itu saya lakukan terus selama 14 hari demi kesembuhan anak saya," kata dia.
Saat perawatan pada 7 hari pertama, menurut Nia, dokter di RSPI sendiri tidak juga menemukan penyebab penyakit yang diderita anaknya. Hingga akhirnya dia sempat ingin membawa Cadas berobat ke Singapura.
"Tapi setelah keluar hasil diagnosanya, saya malah tidak boleh ke mana-mana. Karena penyakit ini hitungannya jam, lewat sedikit bisa sangat fatal akibatnya."
Nia mengaku, keadaan ini sempat membuat kondisi keluarganya berubah total. Setiap hari Nia terobsesi mencari tahu mengenai penyakit GBS di internet maupun melalui ahli, sehingga keluarganya sempat terabaikan.
"Penyakit ini mengubah kehidupan keluarga, saya jadi tidak pernah mengobrol dengan suami, anak bungsu saya jadi diurus pembantu, karena saya sibuk mencari penyebab anak saya bisa begini," katanya.
Mayoritas pasien GBS di RSCM memang orang dewasa berusia 40 tahun ke atas. Mereka dinyatakan sembuh dari penyakit yang dapat mengakibatkan kelumpuhan bahkan gagal nafas dalam jangka waktu cukup lama bagi penderitanya ini. Salah satu pasien yang telah sembuh adalah remaja bernama Cadas Propopuli Azzam Baribin.
"Awalnya anak saya mengalami kesemutan di telapak kaki yang menyebabkan sakit luar biasa hingga ke paha, lalu saya bawa ke dokter, akhirnya dirujuk ke RS Pondok Indah," ujar orang tua Cadas, Nia Damayanti, saat ditemuiVIVAnews.com dalam acara deklarasi Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka di Kayumanis, Jakarta Timur, Minggu, 7 Agustus 2011.
Menurut Nia, anak sulungnya itu mulai dirawat di RS Pondok Indah sejak 2 Mei 2010 selama dua minggu. Dalam masa pengobatan tersebut, Nia mengatakan bisa mengeluarkan biaya hingga lebih dari Rp24 juta per hari.
"Penderita GBS itu obatnya bernama Gamunex, berupa cairan yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui infus. Kadar obatnya tergantung berat badan pasien, kebetulan untuk anak saya waktu itu membutuhkan 18 ampul dalam sehari," katanya.
Dijelaskan Nia, satu botol Gamunex berisil lima ampul, harga per botolnya Rp7,5 juta. Dalam sehari, Nia membeli 3 botol Gamunex dan 3 ampul satuan seharga Rp2,5 juta.
"Pokoknya totalnya harus 18 ampul sehari, itu harganya bisa Rp24 juta sehari. Sampai-sampai suster di RSPI itu suka kasihan tiap memberi bon itu kepada saya tiap hari, dan itu saya lakukan terus selama 14 hari demi kesembuhan anak saya," kata dia.
Saat perawatan pada 7 hari pertama, menurut Nia, dokter di RSPI sendiri tidak juga menemukan penyebab penyakit yang diderita anaknya. Hingga akhirnya dia sempat ingin membawa Cadas berobat ke Singapura.
"Tapi setelah keluar hasil diagnosanya, saya malah tidak boleh ke mana-mana. Karena penyakit ini hitungannya jam, lewat sedikit bisa sangat fatal akibatnya."
Nia mengaku, keadaan ini sempat membuat kondisi keluarganya berubah total. Setiap hari Nia terobsesi mencari tahu mengenai penyakit GBS di internet maupun melalui ahli, sehingga keluarganya sempat terabaikan.
"Penyakit ini mengubah kehidupan keluarga, saya jadi tidak pernah mengobrol dengan suami, anak bungsu saya jadi diurus pembantu, karena saya sibuk mencari penyebab anak saya bisa begini," katanya.
Kambuh Lagi
Setelah dua minggu, Cadas masih harus melakukan fisioterapi sampai Juli 2010, dan berjalan dengan bantuan tongkat. Namun, siapa sangka, seminggu kemudian kambuh kembali penyakit GBS tersebut.
"Anak saya kembali diinfus dengan Gamanex. Kemudian saya terbang ke Singapura untuk memastikan kesembuhannya, lalu September 2010 baru anak saya dinyatakan benar-benar sembuh," tuturnya.
Kini, Cadas telah berusia 12 tahun dan bersekolah di SMP Negeri 68 Jakarta. Ahli media telah memperbolehkannya beraktivitas seperti remaja pada umumnya. Setelah Cadas sembuh, Nia baru ingat, sekitar enam bulan sebelum anaknya didiagnosa GBS, dia sempat mengantar Cadas ke dokter THT.
"Waktu itu dia flu, lalu dokternya menemukan katanya ada virus yang bisa menyerang (sampai) ke gagal organ. Tapi belum sampai ke GBS. Enam setelah itu Cadas malah kena GBS, ternyata dari sinusitis kata dokternya bisa kena GBS," katanya.
Nia pun berharap dengan adanya pengalaman yang dialaminya ini, bisa membuat para penderita GBS lainnya memiliki semangat hidup tinggi untuk bisa sembuh lagi.
"Memang tidak bisa dibandingkan dengan keadaan Shafa dan Azka, karena anak saya cuma baru sampai paha dan masih bisa bicara. Tapi saya berharap dua balita ini bisa kembali sembuh seperti anak saya tentunya," katanya. (ren)
• VIVAnews"Anak saya kembali diinfus dengan Gamanex. Kemudian saya terbang ke Singapura untuk memastikan kesembuhannya, lalu September 2010 baru anak saya dinyatakan benar-benar sembuh," tuturnya.
Kini, Cadas telah berusia 12 tahun dan bersekolah di SMP Negeri 68 Jakarta. Ahli media telah memperbolehkannya beraktivitas seperti remaja pada umumnya. Setelah Cadas sembuh, Nia baru ingat, sekitar enam bulan sebelum anaknya didiagnosa GBS, dia sempat mengantar Cadas ke dokter THT.
"Waktu itu dia flu, lalu dokternya menemukan katanya ada virus yang bisa menyerang (sampai) ke gagal organ. Tapi belum sampai ke GBS. Enam setelah itu Cadas malah kena GBS, ternyata dari sinusitis kata dokternya bisa kena GBS," katanya.
Nia pun berharap dengan adanya pengalaman yang dialaminya ini, bisa membuat para penderita GBS lainnya memiliki semangat hidup tinggi untuk bisa sembuh lagi.
"Memang tidak bisa dibandingkan dengan keadaan Shafa dan Azka, karena anak saya cuma baru sampai paha dan masih bisa bicara. Tapi saya berharap dua balita ini bisa kembali sembuh seperti anak saya tentunya," katanya. (ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar